Suatu
kali ada seorang guru pergi ke India. Pada saat itu, kita belum memiliki
alat komunikasi atau pesawat udara atau berbagai jenis alat transportasi
seperti saat ini. Maka guru itu pergi ke India dengan berjalan kaki.
Dia belum pernah pergi ke India sebelumnya; mungkin dia berasal dari
Persia. Dan saat sampai di sana, dia melihat banyak buah. Di India
dijual berbagai buah, tetapi kebanyakan mahal harganya karena tidak
dapat tumbuh banyak karena keadaan airnya. Dia melihat satu keranjang,
sekeranjang besar buah yang sangat panjang dan merah. Dan itu adalah
buah yang paling murah di toko itu, tidak mahal sama sekali.
Maka dia naik dan bertanya, “Berapa
harganya sekilo?” Dan pemilik toko berkata,”Dua rupee.”
Dua rupee di India tidak ada artinya. Maka dia membeli sekilo buah
itu dan mulai menikmatinya. Tetapi setelah dia menikmati beberapa:
Oh, astaga! Matanya berair, mulutnya berair dan terasa panas, matanya
panas, kepalanya panas dan wajahnya menjadi merah. Dia batuk-batuk,
merasa sesak dan megap-megap, sambil melompat-lompat, mengucapkan,
“Ah! Ah! Ah!"
Tetapi dia terus saja memakan buah
itu! Orang-orang yang melihatnya menggelengkan kepala dan berkata,
“Anda sinting! Itu cabai! Anda tidak dapat makan demikian banyak;
tidak baik bagi Anda! Orang-orang menggunakannya sebagai bumbu, tetapi
hanya sedikit dimasukkan dalam masakan agar nikmat. Anda tidak dapat
memakannya sebanyak itu; itu bukan buah!” Maka guru yang bodoh
itu berkata, “Tidak, saya tidak dapat berhenti! Saya telah membelinya,
dan sekarang saya akan memakannya. Saya beli dengan uang saya!"
Dan Anda mengira guru itu bodoh,
bukan? Demikian pula, kita kadang-kadang melakukan banyak hal seperti
itu. Kita menanamkan uang, waktu atau usaha dalam persahabatan, usaha
atau pekerjaan. Dan meskipun pengalaman pahit telah menunjukkan kepada
kita bahwa itu tidak akan berhasil, dan kita mengetahui bahwa tiada
lagi harapan di masa mendatang – ini kita ketahui pasti dengan
intuisi – kita masih saja melanjutkan karena kita telah menanamkan
uang, waktu, usaha dan kasih kedalamnya. Bila demikian, otak kita
tiada berguna. Seperti halnya orang yang makan cabai itu dan sangat
menderita tetapi tidak dapat berhenti karena dia tidak ingin membuang
uang yang telah dia keluarkan.
Bahkan, bila Anda telah kehilangan
sesuatu, lupakan dan terus maju. Itu lebih baik daripada terus merasa
kehilangan; Anda harus pahami hal ini. Jangan mengatakan, “Guru
berkata bahwa kita harus bertenggang-rasa dan mengasihi tanpa syarat”,
dan kemudian membiarkan suami menendangmu setiap saat dia inginkan
atau membiarkan istri terus memperlakukan Anda dengan kasar. Tidak
baik! Saya tidak menganjurkan demikian; saya telah menyampaikannya
berkali-kali.
Dalam kisah lain tentang seekor ular
dan seorang biarawan, sang guru mengajar ular itu agar tidak melakukan
kekerasan. Tetapi kemudian, ular itu membiarkan semua orang menyakitinya;
mereka melemparkan batu padanya, memutarnya dan sebagainya. Maka sang
guru berkata kepada ular itu, “Saya menyuruhmu jangan menggigit,
tetapi saya tidak menyuruhmu untuk tidak mendesis,” artinya
dia harus menakut-nakuti orang-orang agar menjauh; itu yang kita harus
lakukan. Kita harus melindungi diri kita dengan cara apapun yang memungkinkan..